Oleh: Presli
Panusunan Simanjuntak
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Terimakasih kepada Sandro Unedo Hutasoit, ST, M.Res, M.Sc
Terimakasih kepada Sandro Unedo Hutasoit, ST, M.Res, M.Sc
Perubahaan Iklim nyata adanya dan menjadi isu global yang
menakutkan bagi kelangsungan kehidupan makhluk hidup di bumi. Menurut data IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change) suhu rata-rata global menujukan peningkatan singnifikan mencapai 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Citra Satelit juga menujukkan
terjadinya perubahaan “peta es” di daerah kutub utara (lihat Gambar A).
Gambar A . Citra
Satelit Kutub Utara tahun 1979 dan 2003 (sumber:
google)
Hal ini membuat dunia internasional duduk bersama-sama mengambil langkah
konkrit. Sebut saja Kyoto Protocol,
sebuah kesepakatan untuk mengurangi gas rumah kaca dan menekan laju perubahaan
iklim.
Indonesia sendiri juga rentan terhadap dampak perubahaan iklim. Sebagai negara kepulauan, kenaikan permukaan air
laut yang disebabkan mencairnya
sebagian es didaerah kutub akan mengurangi garis pantai dan bahkan sebagian
pulau-pulau kecil di Indonesia akan hilang akibat naiknya permukaan air laut.
Pergeseran musim dan anomali cuaca yang disebabkan oleh perubahaan iklim juga
akan menggangu sektor agraris di Indonesia seperti musim kemarau panjang atau
hujan berkepanjangan yang dapat mengganggu stabilitas ketahanan pangan
nasional.
Kebakaran Hutan
Akhir-akhir ini, kebakaran hutan menjadi
masalah serius yang dihadapi negeri ini. Manajemen mitigasi bencana yang buruk
baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyebabkan masalah ini lamban
untuk diatasi. Hal ini sangat disesalkan karena efek buruk dari asap yang
dihasilkan sangat membahayakan kesehatan seperti ISPA, iritasi mata dan kulit
dan sebagainya. Sebenarnya bukan hanya sekadar efek jangka pendek saja yang
harus kita khawatirkan. Asap dari kebakaran hutan akan melepaskan Gas Rumah
Kaca (GRK) seperti gas karbondioksida (CO2). Semakin lama penanggulangannya,
akan semakin banyak gas karbondioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer.
Blueprint Energi Indonesia
Sesuai Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Blueprint Pengelolaan Energi Nasional Tahun
2006- 2025 . Sasaran Kebijakan Energi Nasional pada Tahun 2025 salah
satunya adalah terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025
yang terdiri atas :
-
Minyak bumi 20%
-
Gas Bumi 30%
-
Batubara 33%
-
Biofuel 5%
-
Panas Bumi 5%
-
EBT lainnya 5%
-
Batubara yang
dicairkan 2%
Dari data di atas, jika kita teliti penggunaan bahan bakar fosil masih
menjadi pilihan utama pada kebijakan energi kita (diatas 60%). Seperti yang
kita ketahui, penggunaan bahan bakar fosil notabene menghasilkan Gas Rumah Kaca (GRK).
Penggunaan batubara secara masif selain menghasilkan
gas buangan CO2 juga berdampak pada eksploitasi daerah hijau yang digunakan
untuk daerah pertambangan secara masif pula. Ini sama saja halnya dengan
menimbun gas buangan CO2 di atmosfer karena di satu sisi kita memproduksi lebih
banyak lagi CO2, di sisi lain kita juga mengurangi lahan hijau yang merupakan
tempat daur ulang CO2.
Melihat kedua fakta di
atas, sudah seharusnya kita mempertanyakan lagi keseriusan Indonesia dalam menghadapi
isu perubahaan iklim. Jika Indonesia ingin lebih serius dalam menanggapi
perubahaan iklim seharusnya Indonesia bisa lebih cepat dan tanggap dalam
mengatasi kebakaran hutan. Bukan hanya melihat efek jangka pendek akan tetapi
juga memperhatikan efek jangka panjang kebakaran hutan. Lebih lanjut,
Pemerintah harus dapat mencegah terjadinya hal ini agar tidak terulang pada
tahun-tahun berikutnya.
Pemerintah juga harus
menyusun ulang kebijakan pengelolaan energi nasional jangka panjang. Memang bisa dipahami jika
pemilihan energi fosil batubara sebagai sumber energi utama bernilai ekonomis.
Akan tetapi, dampak negatif penggunaan batubara terhadap lingkungan, terlebih
menyangkut pemanasan global, tidak boleh dikesampingkan. Penggunaan energi
alternatif ramah lingkungan (green energy)
harus dikembangkan.
0 komentar:
Posting Komentar