Oleh Presli Panusunan Simanjuntak
Pernyataan mengejutkan ini dikeluarkan oleh World Meteorological Organization (WMO)
pada Senin (6/11/2017) di konferensi perubahan iklim PBB COP23 di Bonn, Jerman
bahwa Tahun 2017 adalah tahun dengan suhu terpanas dalam
abad ini tanpa pengaruh adanya el-nino.
Pertanyaan
itu menyatakan dari bulan
Januari hingga bulan Oktober tahun 2017, kenaikan suhu rata-rata global (global temperature)
mencapai angka
1,1 derajat celcius setalah era pra-industri. Padahal, batasan kenaikan suhu yang ditetapkan dalam
Perjanjian Paris 2015 hanya 1,5 derajat celcius.
Badan PBB yang mengurusi kegiatan
meteorologi tersebut mengatakan bahwa ada sekitar 30 persen populasi penduduk bumi sekarang ini mengalami "suhu panas yang ekstrem" setidaknya
beberapa hari setiap tahunnya.
Dampak
suhu terpanas ini dirasakan diseluruh belahan dunia, baik belahan utara,
selatan maupun tropis. Pemanasan
global melalui peningkatan gas rumah kaca (GRK) disebut sebagai salah satu “biang
keladi” dari naiknya suhu dunia dan
cuaca ekstrem akhir-akhir ini. Aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi gas
rumah kaca sangat signifikan yang membawa tanda perubahaan iklim semakin
terlihat dan tak terelakkan.
Konsentrasi
gas rumah kaca yang ada diatmosfer mendorong pemanasan global terus meningkat salah
satunya adaah peningkatan secara drastis gas karbon dioksida (CO2). Angka CO2
saat ini bahkan menyentuh 403,3 bagian per juta (ppm), yang tertinggi
setidaknya dalam 800.000 tahun terakhir.
Sementara
itu, gas rumah kaca yang paling berpolusi kedua adalah metana (CH4). Angka gas
ini juga meningkat dalam beberapa dekade terakhir, didorong oleh kebocoran dari
ledakan fracking industri gas dan pertumbuhan ternak global.
Kita
bisa bayangkan jika setiap tahun kenaikan suhu muka bumi meningkat secara
signifikan maka mau tidak mau kita harus “mencari planet lain” yang senyaman
bumi.
0 komentar:
Posting Komentar