Apabila Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli konsisten dengan sikapnya menolak proyek listrik bertenaga batu bara 35 ribu megawatt, ia layak menjadi climate champion. Meski tidak pernah menghubungkan sikapnya dengan isu perubahan iklim atau komitmen penurunan emisi pemerintah, rasionalisasi Menteri Rizal dalam menjelaskan proyek listrik itu sedang berhadapan dengan salah satu sumber energi yang mengemisikan karbon paling tinggi.
Menteri Rizal menohok klaim proyek itu pada nilai ekonominya. Ia yakin rencana pembangunan pembangkit listrik batu bara 35 ribu MW plus 7 MW tersisa dari zaman Presiden Yudhoyono, ditambah pula kapasitas seluruh pembangkit yang beroperasi saat ini, tidak realistis karena menyebabkan kelebihan daya 21 ribu MW. Kelebihan itu bisa menyulitkan Perusahaan Listrik Negara, karena harus membeli 72 persen daya tersisa. Ia menyarankan target itu diturunkan menjadi dua pertiga atau setengahnya. Ini sebuah kabar baik untuk target pengurangan emisi nasional.
Seorang menteri yang mengurusi masalah sumber daya tidak akan lepas dari isu keberlanjutan. Dan isu paling penting dalam keberlanjutan sumber daya adalah keberlanjutan energi. Bersandar pada energi berbasis fosil yang bersifat non-renewable (tak terbarukan) untuk negeri yang memiliki cadangan minyak sisa tidak lebih dari 3,7 miliar barel, ini tentu mengundang kekhawatiran. Bila diasumsikan tingkat produksi 800 juta barel per hari, cadangan itu akan habis dalam waktu 13 tahun.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), ditetapkan pada 2025 penggunaan energi nasional terdiri atas batu bara (33 persen), gas (30 persen) dan minyak bumi (25 persen), geotermal (5 persen), batu bara cair (2 persen), sedangkan untuk biomassa, nuklir, tenaga air, sinar matahari, serta angin secara total hanya 5 persen. Terjadi lompatan jauh, ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan mandatori penggunaan bauran bahan bakar nabati 15 persen atau B15 pada akhir 2015. Target baru ini naik 12 persen persen bila mengacu pada KEN.
Terlepas realistis atau tidak target itu, terobosan memang harus dilakukan atas kebuntuan yang terjadi selama ini, salah satunya dengan kewajiban memakai B15. Di belahan dunia yang lain, bahkan para produsen utama minyak bumi mulai beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT). Arab Saudi yang masih memproduksi 2,8 juta barel minyak per hari telah sepakat membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan Prancis, Korea, dan Cina sebanyak 16 reaktor berdaya 14 MW. Mereka juga akan memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga surya pada 2023 dengan dana US$ 109 miliar. Chatham House memperingatkan Arab Saudi akan menjadi net oil importer pada 2038, bila tingkat konsumsi minyak dalam negerinya sama seperti hari ini.
Uni Emirat Arab yang memproduksi 2,82 juta barel minyak per hari mengambil langkah sama melalui beberapa kotanya. Mereka berhasil membangun Kota Masdar di Abu Dhabi yang memang direncanakan menjadi berkarbon netral pertama di jazirah Arab. Bandingkan dengan Indonesia yang berstatus negara importir minyak sejak 2003, tetapi tetap mengutamakan migas pada 2025. Geotermal yang sudah dieksploitasi dan tergolong energi bersih tetap menjadi "anak tiri," hanya menyumbang 5 persen pada 2025.
Mobil listrik saat ini tak sampai 1 persen dari seluruh mobil di dunia ini, tapi dengan penemuan baterai super-efisien, desain menarik, dan kecepatan tinggi seperti yang telah dibuktikan Tesla, dalam 15 tahun diperkirakan 20 persen mobil akan bertenaga listrik. Google, Apple, Wal-Mart, Johnson & Johnson, Hilton, atau MidAmerican Energy Holdingsmilik Warren Buffet, dan banyak perusahaan lain dalam daftar Fortune 500, sudah masuk ke bisnis EBT dengan nilai investasi miliaran dolar AS. Cina yang dikenal rakus energi berbasis fosil menjadi produsen panel surya terbesar di dunia. Lalu, peran apa yang akan dimainkan Indonesia secara global, selain selalu banyak bicara soal potensi EBT yang melimpah?
Ketika menyampaikan isi dokumen Intended Nationally Determined Contributions(INDC) yang memuat komitmen Indonesia untuk pengurangan emisi global, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menekankan bahwa tambahan penurunan emisi terbesar akan diperoleh dari sektor industri dan energi. Menteri KLHK akan menutup izin bagi pertambangan batu bara di kawasan hutan agar tak menambah emisi. Meskipun masih retorika, rencana ini sejalan dengan keinginan Menteri Rizal Ramli. Bila usul revisi 35 ribu MW diterima dan diturunkan menjadi 17 MW saja, potensi emisi sekitar 102 juta ton karbon dioksida per tahun akan terkurangi, belum dihitung ongkos kesehatan masyarakat yang terkena dampaknya. Menteri Rizal Ramli perlu didorong untuk menggebrak lebih jauh, tapi kali ini dengan membawa paket lengkap tiga pilar keberlanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. ●
|
0 komentar:
Posting Komentar